blank
Mitoni atau tingkeban, adalah ritual kenduri selamatan tradisi Kejawen yang kaya makna dan filosofi. Ini dilakukan untuk menandai genap tujuh bulan ibu mengandung.(suarabaru.id/bp)

WONOGIRI – Ritual mitoni juga disebut sebagai tingkeban. Yakni ritual kenduri selataman genap tujuh bulan usia kehamilan, yang kaya filosofi Kejawen dan lazim dilakukan oleh masyarakat Jawa. Budayawan Jawa penerima anugerah bintang budaya, Kanjeng Raden Arya (KRA) Pranoto Adiningrat, menyatakan, mitoni berasal dari kata pitu (tujuh), yakni prosesi yang dilakukan pada wanita yang telah memasuki masa tujuh bulan kehamilannya.

Dalam ensiklopedi Buku Bauwarna Adat Tata Cara Jawa, karya Drs R Harmanto Brtasiswara, disebutkan, mintoni atau tingkeban merupakan ritual papagan (menyambut) kedatangan calon kelahiran bayi. Tujuannya, sebagai wujud syukur kepada Tuhan, yang telah memberikan calon keturunan. Melalui ritual mitoni, dipanjatkan doa permohonan kepada Gusti Murbeng Dumadi, agar calon bayi yang genap tujuh bulan dalam kandungan tersebut, kelak dapat lahir lancar, selamat dan menjadi penerus generasi yang dapat dibanggakan, supaya tumbuh menjadi pribadi yang baik dan berbakti.

Acara mitoni, baru-baru ini digelar di rumah Slamet Rahardjo, di Lingkungan Pokoh, Kelurahan Wonoboyo, Kecamatan dan Kabupaten Wonogiri. Yakni untuk mitoni pada putra-putrinya, Achmad Ikhsanudin yang berjodoh dengan Dian Noviana. Rangkaian ritualnya, diawali dengan siraman (mandi jamas) memakai air bunga, untuk menyucikan secara lahir dan batin sang ibu dan calon bayi. Siraman dilakukan oleh ibu bersama 6 sesepuh perempuan yang diteladankan. Selesai siraman, diteruskan acara busanan atau ganti pakaian sebanyak tujuh kali memakai tujuh kain batik yang masing-masing coraknya memiliki filosofi kebaikan untuk kehidupan.

Tujuh corak kain batik itu terdiri atas batik corak Sekar Drajad, Sido Drajat, Sidomukti, Babon Angrem, Wahyu Tumurun, Truntum dan Lurik Ketuban Pecah. Pada setiap ganti kain jarik, juru mitoni yang memandu ritual tingkeban, selalu melempar pertanyaan kepada hadirin, apakah sudah patut ? Selalu dijawab belum, dan baru dijawab sudah ketika telah berganti sebanyak tujuh kali.

Seusai siraman, diteruskan dengan makan jenang procot dan diteruskan acara brojolan memakai cengkir (kelapa muda) jenis gading (warna kuning) yang dijatuhkan dari balik lipatan kain jarik yang dipakai calon sang ibu. Dua cengkir itu, digambari tokoh wayang Betara Kamajaya-Dewi Ratih. Terkandung permohonan, agar bayi yang kelak lahir, bilamana pria dapat bagus bagai Betara Kamajaya (lambang rupawan) dan manakala lahir perempuan bagai Dewi Ratih (lambang kecantikan).

Ritual brojolan dilakukan di depan pintu utama. Calon sang ibu kemudian duduk deprok pada tumpukan enam kain batik yang pernah dipakainya tersebut. Menandai usainya ritual mitoni, alas tikar yang dipakai ritual mitoni ditarik keluar dari pintu, disertai dengan suara ngoeeek…. lazimnya suara bayi yang baru lahir dari rahim ibunya. Uniknya, para tamu ketika pulang pantang berpamitan. ”Tidak boleh pamit,” tutur Kepala Lingkungan (Kaling) Pokoh, Sunardi.(suarabaru.id/bp)