blank
mushaf raksasa milik Masjid Agung Kudus yang selalu dibaca saat Tadarus Ramadan. foto: Suarabaru.id/

KUDUS – Bagi umat muslim Kudus yang menjalankan sholat tarawih dan  tadarus Quran di Masjid Agung Kudus selama bulan Ramadhan ini, tentu tak asing lagi dengan keberadaan mushaf Alquran raksasa yang dibaca saat Tadarus. Namun, tak banyak dari masyarakat yang tahu siapa Khottoth (penulis) mushaf kebanggaan warga Kota Kretek tersebut.

Ya, mushaf yang hanya dikeluarkan setiap bulan Ramadan tersebut ditulis oleh seorang maestro khottoth asal Kudus yakni alm HM Noor Aufa Shiddiq. Meski dibantu dua temannya yakni Faruq dan Arif Fauzy, selama tiga tahun Aufa memegang peran cukup penting dengan menulis huruf demi huruf dari kitab suci umat muslim tersebut. Sementara Faruq berperan sebagai penulis ayat dan Arif menulis desain iluminasi.

Namun, karya monumental Aufa yang wafat pada 2012 silam tersebut kini menjadi ikon Masjid Agung Kudus. Goresan huruf-huruf dalam mushaf raksasanya, seakan menjadi saksi kebesaran seni kaligrafi di kota santri ini.

‘’Ini merupakan bentuk dedikasi sebagai umat muslim. Apalagi Kudus merupakan gudangnya seniman kaligrafi dan ulama Quran seperti alm KH Arwani, tentu saya menginginkan sebuah monumen berupa mushaf Alquran raksasa hasil karya anak Kudus,’’ ujar Aufa semasa hidupnya kepada penulis, saat menceritakan latar belakang dirinya dalam menulis Mushaf raksasa tersebut.

Ya, mushaf Alquran raksasa milik Masjid Agung Kudus memang terbilang istimewa. Selain ukurannya yang jumbo, mushaf tersebut sepenuhnya sepenuhnya ditulis dengan tangan oleh seniman-seniman kaligrafi terbaik dari Kudus.

Mushaf yang total pembuatannya menghabiskan waktu 3 tahun tersebut berukuran 110 cm x 80 cm dengan berat 3,5 kuintal. Perlu sekitar empat orang lebih untuk mengangkatnya.

Mushaf berbahan kertas jenis Ifory yang merupakan jenis terbaik tersebut, ditulis dengan tinta buatan Jerman. Mushaf tersebut tersebut ditulis dengan khot (jenis tulisan) Nashi untuk ayat-ayatnya, serta khot Tsulusi untuk judul ayat.

Dijaga Malaikat

Pembuatan mushaf sendiri memerlukan proses yang panjang. Menurut Aufa yang mengaku belajar seni kaligrafi secara autodidak, proses pembuatan mushaf Quran raksasa tersebut menghabiskan waktu sekitar 3 tahun. Sejak dimulai pada tahun 1994, penulisan tersebut baru berakhir pada 1997. Ini dengan asumsi dalam satu bulan

Banyak suka duka dalam penulisan mushaf tersebut. Namun tuturnya, yang terpenting dalam penulisan tersebut banyak hikmah yang dipetik sehingga semakin menambah wawasan dirinya tentang ilmu Alquran.

‘’Salah satunya adalah dalam Alquran ada empat kata Ibrohim  yang mana pelafadzannya sama namun penulisannya berbeda. Saya sempat mencari jawaban ke sejumlah ulama seperti KH Syaroni, maupun para ulama di Depag pusat. Tapi tidak mendapat jawaban. Akhirnya, dengan berijtihad sendiri saya menyelesaikan persoalan tersebut,’’ cerita Aufa kala itu.

Selain itu, Aufa yang pernah menyabet juara dalam lomba kaligrafi tingkat Asia tahun 1992, 1994, 1996 di Brunei Darussalam itu mengungkapkan, penulisan mushaf dengan tangan membutuhkan kesiapan spiritual sendiri. Sebab, dalam menulis Alquran, tidak boleh ada satu huruf pun yang hilang atau dihilangkan.

Untuk itu, dalam proses penulisan mushaf tersebut sempat dilakukan empat kali pentashihan (pengkoreksian) guna menghindari kesalahan tulis. Pentashihan tersebut melibatkan para ulama Quran maupun para Huffadz (penghafal) Quran.

‘’Ada kalanya sebuah kesalahan tidak nampak meski berkali-kali sudah dikoreksi oleh ahlinya. Tapi saat saya kembali membuka untuk pertama kali, kesalahan tersebut langsung nampak di depan mata. Dan memang benar ucapan KH Arwani serta ulama Quran kalau setiap huruf dalam Alquran ada malaikat yang menjaganya ,’’ tutur pria yang juga menjadi pengurus Asosiasi Kaligrafi Internasional tersebut.

Suarabaru.id/Tm

Baca juga: Achsaniyah, Ponpes Khusus Anak Autisme di Kudus