blank
Pekerja media di Semarang melakukan aksi jalan kaki di Jalan Pandanaran dalam memperingati Hari Buruh Sedunia. Foto: Ist

SEMARANG– Peringatan Mayday 2019 (Hari Buruh) yang semestinya menjadi “hari besar” bagi kaum buruh, justru menjadi “hari duka” bagi sebagian pekerja media di Jateng. Aksi damai yang diikuti ribuan orang dalam memperingati Hari Buruh ini, dilakukan di beberapa tempat di Kota Semarang.

Salah satu tempat dalam aksi ini dilakukan di depan gedung Menara Suara Merdeka. Dalam aksi yang dilakukan di halaman depan gedung itu, mereka secara bergantian menyampaikan aspirasi-aspirasinya.

Seorang karyawan, yang menyampaikan aspirasi tersebut misalnya Munif. Dia mengaku telah mendedikasikan tenaga dan pikirannya untuk perusahaan itu selama sekian tahun sebagai Kepala Bagian Lay Out. Namun apa yang diterimanya, justru dia diberhentikan secara sepihak tanpa pemenuhan hak-hak normatif sesuai Undang-undang Ketenagakerjaan.

”Saya di PHK karena menanyakan upah lembur Pemilu pada perusahaan. Surat PHK tertanggal 30 April 2019, dan diantar sendiri oleh Senior Manager HRD ke rumah. Bagi saya, hal itu sangat janggal. Kan seharusnya saya diundang dulu,” ungkap Munif, Rabu (1/5).

Di Jateng sendiri sebenarnya masih banyak lagi pekerja media yang di-PHK secara sepihak oleh perusahaan setempat. Seperti yang dialami kurang lebih 93 karyawan PT Masscom Graphy (MG), yang sudah dirumahkan pada 1 Mei 2018 lalu.

Karyawan perusahaan percetakan ini, telah berulang kali melakukan negosiasi, tapi hingga sekarang belum menuai titik temu, dan tidak ada kejelasan akan nasib mereka.

Kasus yang hampir sama juga terjadi pada Harian Wawasan. Kurang lebih sebanyak 50-an karyawannya, terkatung-katung tanpa kejelasan. Hak gaji selama satu tahun tidak dibayarkan, termasuk tertundanya pemberian Tunjangan Hari Raya (THR).

Sementara itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang beserta Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia dan Hak Asasi Manusia Jateng, sebenarnya telah banyak menangani kasus yang sama, seperti yang menimpa pekerja media Harian Semarang, iNewsTV, Cakra, Koran Sindo, dan yang terbaru Suara Merdeka dan Harian Wawasan.

Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Provinsi Jateng mencatat, ratusan perusahaan di Jateng masih memberi upah buruh di bawah standar Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di Jateng.

Kepala Disnakertrans Jateng, Wika Bintang mengatakan, mayoritas kasus yang ada di Jateng didominasi industri yang menggaji buruh tidak sesuai dengan standar UMK. “Saat ini ada dua media yang mengadu pada Disnaker karena upahnya di bawah UMK,” jelas dia dalam keterangannya, Selasa (30/4) lalu.

Pihaknya mencatat, dari hasil rekapitulasi Disnaker Jateng selama 2018, dari 3.122 perusahaan yang diperiksa, terdapat 437 perusahaan yang melanggar. “Kurang lebih terdapat 13 % perusahaan yang tidak memberi upah sesuai standar upah minimum,” paparnya.

Dampak Turbulensi
Dia menegaskan, bagi perusahaan yang tidak membayarkan gaji sesuai UMK, bakal terkena sanksi administratif, sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 pasal 90 ayat (1).

“Bagi perusahaan yang menggaji buruh tidak sesuai UMK, bisa dikenakan sanksi pidana paling lambat satu tahun dan paling lama empat tahun, beserta denda sebesar Rp 100 – 400 juta,” imbuhnya.

Untuk itu, Disnaker membuka seluas-luasnya pintu masuk bagi masyarakat, untuk melaporkan pengaduannya selama 24 jam ke Disnaker. “Saya minta pekerja yang dirugikan segera datang ke Disnaker, agar dapat kita tindak lanjuti,” tandasnya.

Pemberhentian kerja secara sepihak para pekerja media, merupakan dampak turbulensi industri media yang mulai terlihat beberapa tahun terakhir. Namun hal itu tidak diantisipasi dengan serius oleh para pemilik perusahaan-perusahaan media.

Hal ini terbukti, dengan masih banyaknya perusahaan media yang melanggar prinsip-prinsip dasar Undang-undang Ketenagakerjaan, mulai dari melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, telat membayar upah karyawan, mencicil upah karyawan, mencicil pesangon PHK, bahkan memecat karyawannya tanpa pesangon sepeser pun.

suarabaru.id/Riyan