blank
Agus Wuryanto dan Agung Wiera, dua penulis buku "Wonosobo the Soul of Java" dan "Tari Topeng Lenggeran Wonosobo" menujukan buku yang baru saja diterbitkan. (Foto: SuaraBaru.id/Muharno Zarka)

WONOSOBO – Dua fotografer senior Wonosobo berhasil menerbitkan buku pariwisata dan tari topeng lenggeran. Agung Wiera, BA A FPSI, yang pernah menempuh pendidikan di Visi Art and Graphic Design School Yogyakarta (1996), menerbitkan buku pariwisata “Wonosobo the Soul of Java, Nature, Culture dan Adventure”.

Sedangkan Agus Wuryanto, S Sn yang juga lulusan Program Studi Seni Grafis Jurusan Seni Murni Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta menerbitkan buku sejarah “Tari Topeng Lenggeran Wonosobo, antara Magic Religius dan Profan”.

Kedua fotografer profesional dan pelaku seni di kota pegunungan ini selama kariernya telah banyak menghabiskan waktu untuk mengekplorasi dunia fotografi di Wonosobo.

Rupa-rupa hasil karya foto berlatar belakang alam, seni-budaya, UMKM dan foto salon telah dihasilkan dua pendiri Himpunan Penggemar Photo Wonosobo (HPPW) itu.

Agung Wiera yang punya nama asli Agung Wiratno ini, ketika ditemui SuaraBaru.id, Selasa (2/4) mengatakan, karya travel book hasil kerjasama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wonosobo ini merupakan persembahan dirinya pada wisatawan baik domistik maupun mancanegara yang kebetulan berkunjung ke kota dingin ini.

“Buku yang saya buat lebih banyak menyajikan foto berlatar belakang alam (nature) tempat wisata yang ada di Wonosobo. Juga foto kekayaan seni budaya (culture) dan foto kawasan wisata yang bisa dijadikan tempat berpetualang (adventure) bagi pencinta alam serta foto-foto galery seni yang ada di kota ini,” sebut suami dari Subiyati S Pd ini.

Menurut Agung, sapaan akrabnya, buku ini terlihat istimewa karena tidak saja menyajikan foto, tapi juga menyertakan narasi yang menggambarkan foto yang tersaji. Sehingga pelihat dan pembaca travel book ini, selain menyaksikan foto dengan kualitas istimewa sekaligus bisa membaca narasinya.

Sebagai sebuah buku panduan bagi pariwisata domistik dan mancanegara, narasi yang disajikan tidak hanya berbahasa Indonesia, tapi juga berbahasa inggris. Hal itu
dilakukan agar turis asing yang datang ke tempat wisata yang ada di Wonosobo bisa menikmati buku ini secara gampang.

Pria kelahiran Wonosobo 7 Juni 1961 ini mengatakan, dalam indek foto dan narasi alam (nature) ada foto Sunrise View of Sikunir Hill, Prau’s Peak, Warna, Menjer dan Cebong Leak, Lubang Sewu wadaslintang,  Bun Upas-Dieng Frozen, Village in Dieng, Sikidang dan
Sileri Crater, Purwaceng Dieng Herbal dan Carica Dieng hingga Tambi Tea Plantation.

“Keindahan alam merupakan kekayaan kota pegunungan Wonosobo. Kawasan gunung-gemunung dengan udara yang sejuk  bisa ditemukan di berbagai tempat dari Kledung dengan latar belakang Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing hingga pegunungan Dieng yang berbatasan dengan daerah Banjarnegara, Batang dan Pekalongan,” ungkap Agung.

Foto dan narasi yang terkait dengan seni budaya (culture), menurut  ayah dua anak ini, meliputi Dieng Hindu Temples, Kumandang Tradisional Market, Lengger Topeng dan Emblek Dance, Bundengan, Merti Bumi Igirmranak, Kembaran Baloon Festival, Pulosaren Silent Carnival, Tenongan Tradisional, Wonosobo Heritage hingga Ruang Kreatif Gerbang Mandala Wisata.

Sedang foto adventure dan gallery terdiri atas Wonderful Kumejing, Lengkong Paraglinding, Serayu Refting, Tubing Kajeksan Selfie Ropoh Hill, Jip Trip, Camping on Prau’s Peak, Flower Nursery dan Wonosobo Tourisme Map. Semua karya foto merupakan hasil hunting hingga berbulan-bulan ke lokasi wisata dan centra seni budaya yang ada di Wonosobo.

Sementara itu Agus Wuryanto, yang sukses menulis buku “Tari Topeng Lenggeran Wonosobo, antara Magic Religius dan Profan”, mengatakan buku yang berisi latar belakang seni topeng lengger ini merupakan bentuk perhatiannya terhadap keberadaan seni tari tradisional yang sudah berkembang secara turun-menurun sejak dulu. Tari ini banyak berkembang di pelosok-pelosok desa.

“Saya berusaha untuk mengungkap sejarah dan kekayaan seni tari topeng lenggeran di Wonosobo melalui bentuk penulisan buku agar bisa menjadi dokumen bagi pelaku seni tradisional yang saat ini melanjutkan warisan dari nenek moyangnya, dulu. Jika tak ada dokumen tertulis, saya khawatir pemahaman terhadap tari topeng lenggeran bisa dangkal,” katanya.

Buku ini, menurut Ketua Komunitas Seni Air Gunung tersebut, berisi tentang makna, sejarah dan filosofi topeng, makna dan sejarah topeng lenggeran, bentuk pertunjukan
tari topeng lenggeran dan apa yang dimaksud dengan seni lenggeran. Sampai mengulik mengapa lengger dulu diperankan oleh seorang pria yang berbusana wanita hingga kapan penari lengger digantikan penari lengger wanita.

“Sebagai sebuah buku dokumenter, saya juga berusaha menyajikan tari topeng lenggeran yang diiringi Gending Babadono, Tari Topeng Sulasih, Tari Topeng Kinayakan. Ada juga toko topeng yang punya peran menarik seperti Gondangkeli dan Sotoloyo. Tari topeng lenggeran Wonosobo juga punya bentuk mata, hidung dan mulut yang khas,” katanya.

Di Wonosobo sendiri, ujar Ketua Paguyuban Tosan Aji Pakuwojo ini, ada banyak jenis topeng lenggeran, seperti topeng alusan, gagahan, kasar dan gecul. Dalam buku ini pula, Agus berupaya menampilkan proses pembuatan topeng lengger, fungsi pertunjukan topeng lengger. Dia mengaku memburu informasi ikhwal tari topeng lenggeran dari pelaku dan tokoh yang ada di berbagai desa di Wonosobo.

“Di Wonosobo sebenarnya ada banyak tokoh tari topeng lenggeran, di antaranya Mbah Kasioto (Perboto Kalikajar), alm Mbah Ngali Yusuf (Wonorejo Selomerto), Mbah Purwo (Kuripan Watumalang), Mbah Sentiko (Balekambang Selomerto), Mbah Tahyar (Binangun Watumalang) dan masih banyak lagi. Sebagian tokoh tari topeng lenggeran memang telah meninggal dunia,” sebut Agus.

blank
Foto pesona sunrise Bukit Sikunir Dieng yang tersaji dalam buku “Wonosobo the Soul of Java” karya Agung Wiera. (Foto: SuaraBaru.id/Muharno Zarka)

Namun ada juga beberapa tokoh muda tari topeng lengger kini masih tetap menguri-uri warisan seni tradisional dari para pendahulu. Mereka antara lain Pranji Pujianto (Gianti), Sukarsih (Sudungdewo), Sandy Rumawan (Jaraksari), Bondet Adi Wibowo (Sruni), Dwi Pranyoto (Gianti), Paulus Miki (Kadipaten), Pratikno (Perboto), Hengky Krisnawan (Sruni) dan Subagyo (Kalicecep Kertek).

Bupati Wonosobo, Eko Purnomo mengapresiasi buku karya dua seniman foto yang sudah cukup senior ini. Dia menyebut Wonosobo punya kekayaan alam, wisata  dan seni budaya yang sangat luar biasa sehingga bisa dijadikan obyek fotografi maupun penulisan buku berlatar belakang sejarah seni dan kebudayaan. Penulisan dua buku ini merupakan ikhtiar mengangakat potensi Wonosobo di sektor pariwisata dan seni budaya.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Wonosobo, One Andang Wardoyo mengungkapkan pihaknya memang sengaja mengajak semua pihak untuk mengeksplorasi kekayaan alam, pariwisata, seni dan budaya di kota ini melalui berbagai cara. Salah satunya adalah penerbitan buku pariwisata dan tari topeng topeng lenggeran ini.

“Informasi daya tarik wisata Wonosobo melalui travel book foto maupun seni budaya bisa dijadikan panduan bagi wisatawan untuk menjelajahi keindahan alam dan seni yang ada di kota ini. Bahasa gambar dan tulisan yang indah akan mampu menghadirkan pengalaman tersendiri bagaimana keindahan dan kesejukan Wonosobo yang sebenarnya”, tandas One Andang. (SuaraBaru.id/Muharno Zarka)