TEMANGGUNG- Ratusan orang warga Dusun Klebakan dan Kepatran, Desa Soropadan, Kecamatan Pringsurat, Kabupaten Temanggung memenuhi salah satu sudut di pemakaman umum “Setengu” atau sekitar 300 meter dari Dusun Klebakan untuk melaksanakan tradisi nyadran.
Upacara nyadran yang dilakukan warga dua dusun di Desa Soropadan ini, dilaksanakan setiap tanggal 1 Rejeb, tepatnya di hari Jumat dan bertepatan dengan hari pasaran Paing.
Acara sadranan tersebut dimulai dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh kaum (pemuka agama) setempat, yakni Asmu’i. Usai berdoa,dengan beralaskan pelepah daun pisang yang di tata di atas tikar, mereka menggelar makanan yang dibawa dari rumah. Seperti nasi
tumpeng, ingkung ayam, dan aneka sayur-mayur.
Tidak itu saja, mereka juga saling menukar makanan yang dibawanya dari rumah masing-masing. Dan sesudah itu, mereka melakukan makan bersama. Sedangkan, sisa makanan yang digelar di atas pelepah daun pisang dan tidak dibawa pulang kembali, melainkan dibagi-bagikan kepada orang –orang yang namping (meminta sedekah).
Menurut salah satu sesepuh Dusun Klebakan, R Ananta Kusuma, tradisi nyadran yang dilakukan di pemakaman umum “Setengu” tersebut, telah dilakukan sejak lama. Dan, kini masyarakat Dusun Kepatran dan Klebakan masih melestarikannya.
“Tradisi nyadran di pemakaman umum Setengu ini sudah ada sejak nenek moyang kami, dan masyarakat di sini masih melestarikan tradisi tersebut,” katanya.
Selain itu, doa-doa tersebut juga dipanjatkan untuk dua orang tokoh yang diyakini sebagai cikal bakal Dusun Klebakan dan Kepatran. Dua tokoh tersebut yakni Kiai Jalaludin (Kiai Jala) yang merupakan cikal bakal Dusun Klebakan dan Kiai Mantran (cikal bakal Dusun Kepatran).
Ananta Kusuma mengatakan, tradisi nyadran yang biasa dilakukan dua bulan menjelang bulan Ramadan ini, merupakan ungkapan syukur atas berkah yang diberikan Tuhan yang Mahaesa dalam satu tahun ini.
“Di sini kita bersama-sama mendoakan kakek, nenek, bapak, ibu serta saudara-saudara kita yang sudah meninggal, khususnya yang dimakamkan di pemakaman Setengu,” tuturnya.
Menurutnya, ritual “nyadran” tersebut merupakan suatu kebersamaan ini yang dirindukan dan sudah jarang ditemui di kota besar. “Kami juga ingin mengajarkan pada anak-anak untuk selalu hidup rukun dan tidak melupakan leluhurnya,” paparnya.
Suara baru.id/Yon