blank

 

MAGELANG- Kebijakan pemerintah menerapkan Standard Nasional Indonesia (SNI) terhadap   produk mainan dalam negeri memunculkan polemik bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Kota Magelang. Salah satunya dirasakan usaha kerajinan mainan anak-anak.

Yaitu Wahid Isroji (42), pemilik usaha Laser Production di Kampung Bojong, Kelurahan Jurangombo Selatan yang sehari-hari membuat mainan mobil-mobilan berbahan kayu. Dia yang merintis usahanya sejak tahun 2002 mengaku keberatan dengan pemberlakuan SNI.

‘’Saya merasa pemberlakuan SNI tidak sesuai dengan apa yang digambarkan. Permasalahannya kan macam-macam, seperti studi kelayakan mainan yang tidak masuk akal. Kalau pelegalan surat barangkali kami bisa melakukannya,’’ ujarnya saat ditemui di rumah produksinya, kemarin.

Kepada wartawan dia menuturkan, dirinya  juga merasa berat ketika harus menggunakan cat yang sesuai dengan instruksi kementerian. Sebab, harga cat yang masuk dalam peraturan SNI itu mahal, bisa dua kali lipat dari cat yang biasa digunakannya selama ini.

‘’Saya biasanya gunakan cat 1-2 kilogram saja. Sedang menurut kementerian satu warna saja per kalengnya 25 kilogram. Artinya, kalau dengan kapasitas itu perbandingannya kita bisa beli 6 warna sekaligus, bukan hanya satu warna,’’ tuturnya.

Menurutnya, pemberlakuan SNI tersebut bisa saja membunuh UMKM sendiri. Terlebih, pelaku usaha mainan saat ini makin terhimpit dengan keadaan. Selain itu, banyak perajin berpindah profesi ke usaha makanan.

‘’Kalau dipaksakan harus SNI, bisa saja terjadi usaha mainan anak-anak hilang,’’ tandasnya.

Keterangan serupa disampaikan Supardi. Dia mulai usaha mainan anak-anak tahun 1995.

Da mengemukakan, penggunaan cat sesuai aturan SNI dinilainya bermasalah, karena tidak boleh menggunakan cat minyak.

‘’Saya pernah mencoba pakai cat air, tapi harganya lebih mahal dan hasil yang tidak mengkilap seperti cat minyak. Kalau catnya sudah mahal, maka harga jual mainan juga naik tajam. Saya khawatir pelanggan tidak akan lagi membeli karena mahal,’’ tegasnya.

Dia menyebutkan, selisih harga cat air dibandingkan cat minyak hampir 70 persen sendiri. Harga cat minyak hanya Rp 45 ribu, sedang cat air bisa lebih dari Rp 120.000 per kaleng.

‘’Saya juga keberatan dengan aturan enam  bulan sekali harus registrasi ulang dengan biaya Rp 6 juta. Saya mendapat untung  kecil, namun biaya registrasinya mahal sekali. Lagi pula di lapangan juga tidak ada tuh pemeriksaan stiker SNI yang asli atau palsu,’’ ungkapnya.

Supardi menambahkan, pihaknya juga tidak bisa bersaing dengan produk pabrikan yang mudah masuk ke supermarket. ‘’Ketika coba masuk ke supermarket, pengelola langsung tanyakan SNI. Saya rasa ini sangat menghambat dan di situ kita hanya menjadi penonton,’’ ungkapnya. (Suarabaru.id/dh)