blank
Suasana keramaian Pasar Kumandang Wonosobo Minggu pagi. Foto: Muharno Zarka

WONOSOBO – Di Yogyakarta ada Pasar Kangen. Di Temanggung muncul Pasar Papringan. Di Wonosobo menyusul Pasar Kumandang. Ketiga pasar tersebut bukan pasar biasa. Karena terletak bukan di pasar, di pusat kota atau di sentra keramaian.

Namun ketiga pasar itu menepi dari ingar-bingar keramaian sebuah kota, karena justru berada sebuah kebun di pinggiran desa. Barang yang dijajakan pun tergolong unik dan bernuansa tradisional atau serba “tempoe doeloe”.

Pasar Kumandang, misalnya, merupakan pasar lawas yang berada di Dusun Bongkotan Desa Bojasari Kecamatan Kertek Kabupaten Wonosobo. Di dekat pasar langka ini terdapat Situs Bongkotan peninggalan Candi Hindu.

Puing Candi Hindu

Penggagas Pasar Kumandang, Eko Pujianto (45), mengatakan situs sejarah Bongkotan berupa puing-puing batu peninggalan Candi Hindu yang terletak di sebuah ladang milik warga setempat. Situs tersebut sering dikunjungi mahasiswa Jurusan sejarah dan antropologi untuk melakukan penelitian. Beberapa wisatawan yang menyukai loka wisata budaya dan sejarah juga kerap bertandang ke tempat tersebut.

Di sebelah kanan Situs Bongkotan terdapat lahan milik warga yang dirimbuni beberapa pohon besar. Kebun yang tidak terawat tersebut lalu disulap menjadi Pasar Kumandang, yang bernuansa tradisional dan serbazaman baheula.

“Pendirian Pasar Lawas ini, selain untuk meramaikan Situs Bongkotan juga sebagai upaya mengangkat ekonomi warga setempat dan menggali potensi wisata tradisional di Dusun Bongkotan Desa Bojasari”, ujar Eko.

Meski terkesan nylempit di sebuah kebun dan berada di dusun, namun tidak sulit dijangkau dan letaknya pun tidak begitu jauh dari jalan raya. Dari Jalan Raya Kertek-Wonosobo, tepatnya Desa Bojasari, hanya berjarak kurang dari dua kilo meter.

Dari arah Kertek, begitu sampai di Tugu Desa Bojasari belok kiri lurus.  Sedang dari arah kota Wonosobo, belok kanan lurus, kurang lebih satu kilometer, lalu belok kanan masuk Dusun Bongkotan.

Mobil dan sepeda motor tidak bisa langsung masuk ke areal Pasar Kumandang dan harus parkir agak jauh dari lokasi. Dari areal parkir pengunjung harus jalan kaki menyusuri rumah warga sebelum sampai di pintu gerbang Pasar Kumandang.

Sampai di pintu Gerbang Pasar Kumandang, pengunjung langsung disambut dengan iringan musik calung yang dimainkan pemuda setempat dan harus menaiki jalan untuk sampai ke lokasi yang dituju.

Begitu sampai depan pasar, masih pula harus sabar menunggu antrian penukaran uang keping yang terbuat dari potongan kayu. Keping uang senilai Rp 2000-an itulah uang dijadikan sebagai alat transaksi jual beli.

blank
Pengunjung tengah menukar koin untuk proses jual beli. Foto: Muharno Zarka

Tradisional

Pasar Kumandang sebagai Pasar Wisata, dikemas dengan sentuhan nuansa tradisional Jawa tempoe doeloe. Serba-serbi pasar, berupa tempat, makanan, kerajinan, mainan tradisional dan penjual pun serba ndesa dan tradisional.

Aneka jajanan yang dipasarkan berbahan organik tanpa pengawet dan berbungkus daun-daunan. Ada ketan bakar, tiwul, rese bakar, nasi jagung, lalapan, nasi urap, getuk, serabi, cenil dan rupa-rupa kuliner ala ndesa lainnya.

Semua jajanan dibungkus tanpa plastik, tapi menggunakan dedaunan yang ada. Piring menggunakan potongan kayu, mangkuk dan sendok berbahan bathok kelapa dan gelas dibuat dari potongan bambu. “Tulisan yang menunjukkan harga jajan juga disusun dari daun atau kayu dengan tulisan tangan mengenakan arang. Sebagai wajah pasar lawas, tempat, makanan, penjual dan segala ubo rampe harus tradisional”, beber Eko, yang juga pemilik Rumah Makan Harmoni Kertek Wonosobo.

Uang sebagai sarana pembayaran berupa kayu kepingan yang sudah ditukar sebelumnya di pintu masuk Pasar Kumandang. Jadi di pasar ini tidak ada transaksi menggunakan uang rupiah tapi uang keping kayu. Tempat untuk menjajakan jajanan maupun tempat duduk pengunjung juga dibuat dari bambu dan kayu. Tidak ada bangunan berupa pasar, atap dirimbuni oleh dedaunan dan di sela-sela pasar berjejer kayu-kayu besar yang tumbuh alami.

Para penjual makanan atau mainan tradisional juga wajib mengenakan pakaian adat Jawa. Saat melayani pembeli diharuskan menggunakan bahasa Jawa kromo, ngoko atau Jawa pasaran. Di sebelah area pasar ada arena playon bocah, berupa sudamanda, egrang, gubak sodor, jungkitan, ayunan atau mainan mobil-mobilan yang terbuat dari kayu. Dibangun pula saung sebagai rumah baca bagi yang ingin membaca buku.

Tak hanya itu, pasar yang hanya buka tiap hari Minggu, sepekan sekali ini, dibuka mulai jam 06.00 WIB pagi dan tutup pukul 12.00 WIB. Guna meramaikan suasana pasar juga ada live musik Bundengan maupun lagu-lagu Jawa.

blank
Salah satu arena permainan tradisional bagi anak. Foto: Muharno Zarka

Meski belum lama dibuka, namun jumlah pengunjung dari pekan ke pekan terus meningkat. Selain berasal dari daerah Wonosobo, pendatang pasar ini juga berasal dari luar kota bahkan turis mancanegara.

Ketika berada di Pasar Kumandang yang bertagline “Bernostalgia di Pasar Tempoe Doeloe” ini, seolah pengunjung kembali jauh di kehidupan masa lalu sewaktu masih kecil. Suasana benar-benar tradisional dan alami.

Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Drs One Andang Wardoyo mengatakan Pasar Kumandang yang bergaya hidup tempoe doeloe memang sengaja dihadirkan di Wonosobo. Hal tersebut sebagai daya dukung pengembangan dunia pariwisata berbasis desa.

“Wonosobo memang punya potensi wisata alam dan budaya yang luar biasa. Meski demikian, kemunculan tempat wisata baru yang berbasis tradisi, seni dan budaya akan memberi keleluasaan wisatawan untuk berkunjung loka wisata di kota ini”, tegasnya.

Suarabaru.id/Muharno Zarka