blank
Utiyah ketika tengah melakukan terapi pasien gangguan jiwa di aula setempat

WONOSOBO – Pengorbanan Utiyah (48), warga Desa Erorejo Kecamatan Wadaslintang Wonosobo, sungguh luar biasa. Betapa tidak, di tengah kesibukan menjalankan profesi utama sebagai Guru SD 1 Erorejo, dia masih menyempatkan waktu untuk merawat orang yang mengalami gangguan jiwa, stres dan depresi.

Padahal, bagi sebagian orang, penyandang penyakit jiwa (orang gila), terkadang dipandang sebelah mata, dijauhi, dicueki dan jarang ada yang peduli.

Tapi, tidak bagi perempuan berjilbab itu. “Bagaimanapun mereka (orang gila) adalah manusia. Mereka hidupnya tidak mau dihinakan. Mereka ingin sembuh dan hidup normal seperti orang kebanyakan”, ujar Utiyah, ketika ditemui suarabaru.id, Rabu (13/2/2019).

Dia bercerita mau merawat, mengasuh dan menyembuhkan orang gila karena kesadaran sendiri. Utiyah mengaku pernah mengalami hal yang sama beberapa tahun lalu dan kini sembuh total.

“Setelah sembuh, terus terang, saya terpanggil untuk menyembuhkan orang gila menjadi sehat dan normal kembali. Karena saya juga pernah menderita penyakit yang sama”, cetusnya sembari matanya berkaca-kaca.

Perempuan yang mengaku pernah bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Arab Saudi itu, saat ini mengasuh sekitar 150 orang gila. Mereka berasal dari seluruh penjuru nusantara. Tapi, sebagaian besar, berasal dari daerah Jawa Tengah.

Sebelum itu, jumlah pasien orang gila pernah mencapai 200 orang. Namun karena daya tampung tidak mencukupi, akhirnya 50 pasien dikembalikan kepada keluarganya.

Sedihnya, saat kali pertama menampung orang gila sekitar tahun 2009, karena belum ada tempat mereka ditempatkan dibekas kandang ayam miliknya.     “Saat itu, tempatnya sangat tidak memadai, karena bekas peternakan ayam. Bahkan karena tidak layak huni, bekas kandang ayam tersebut pernah ambruk.

Kini setelah mendapat perhatian dari berbagai pihak, karena kiprah Utiyah pernah muncul di beberapa media cetak maupun televisi, bangunan yang ada sudah cukup layak huni, meski masih ada kekurangan di sana-sini.

“Di bekas kandang ayam, saat ini sudah berdiri bangunan permanen untuk tinggal pasien. Hanya saja, saya masih butuh disuport untuk kebutuhan makan sehari-hari. Karena tidak ada tarif perawatan khusus. Semua sukarela dari pihak keluarga”, kata dia.

Adapun terapi yang dilakukan untuk menyembuhkan pasien, menurut Utiyah, berdasarkan pengalaman pribadi yang pernah dialami.

Tidak ada terapi khusus.                 

Meski pasien yang datang berbeda-beda, karena ada yang suka ngamuk dan ada yang sudah jinak, Utiyah bisa mengatasinya. Terapi yang dilakukan, lanjut Utiyah, pasien ditanya dari hati ke hati.

Setelah itu, mereka diminta untuk melakukan aktifitas harian seperti orang normal, yakni makan, istirahat, ibadah, berdzikir, olah raga dan beraktifitas merawat dirinya sendiri.      “Khusus pasien yang masih suka ngamuk dan belum stabil saya hanya butuh mengurut tengkuknya (leher) biar segera jinak.

Alhamdulillah dengan cara seperti itu bisa berhasil. Ada pula pasien yang butuh penanganan khusus dan harus dikarantina. Itu terutama diperlakukan bagi pasien yang gilanya sudah cukup parah”, kisahnya.

Bagi pasien yang sudah hampir sembuh, mereka diminta banyak melakukan dzikir dan beribadah. Jika sudah dinyatakan total normal kembali, pasien diantarkan ke pihak keluarga. Namun, tak jarang, ada pasien yang sudah sembuh total tapi tak mau diantar pulang.

Mereka lalu diminta untuk ikut mengasuh pasien yang belum sembuh dan membantu bekerja membangun pondok pesantren khusus untuk orang gangguan jiwa tersebut. Dalam melakukan perawatan dan penyembuhan orang gila, dia dibantu tiga adiknya yang sama-sama pernah mengalami penyakit gangguan jiwa.

Tempat perawatan orang gila milik Utiyah saat ini dikenal dengan nama Pondok Pesantren Gangguan Jiwa Dzikrul Ghofilin Erorejo Wadaslintang Wonosobo.

Karena kiprahnya dalam merawat orang gila, Utiyah akan menerima penghargaan PWI Award. Penghargaan tersebut akan diserahkan bersamaan puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) dan HUT PWI di Sasana Adipura Kencana Wonosobo, Sabtu (16/2/2019) malam. Selain Utiyah ada empat tokoh inspiratif lain yang akan menerima penghargaan yang sama. (suarabaru.id/ Muharno Zarka)