blank
Daryanto, kini harus berjuang menyambung hidup dengan berjualan gandos di sepanjang jalan Nitisemito. Foto: tom

KUDUS – Meski sudah menerapkan program wajib belajar 12 tahun, namun kejadian anak putus sekolah masih terjadi di wilayah Kabupaten Kudus. Seperti halnya yang dialami Slamet Daryanto (15), harus rela tidak menyelesaikan pendidikannya di bangku SMP lantaran kemiskinan.

Bocah asal Desa Pasuruhan Lor, Kecamatan Jati yang akrab dipanggil Daryanto tersebut kini harus berjuang menyambung hidup dengan berjualan gandos di sepanjang jalan Nitisemito. Semenjak ayahnya meninggal tiga tahun silam, Daryanto harus tinggal di sebuah kontrakan kecil bersama ibunya di RT 1/RW 4, Desa Pasuruhan Lor.

“Keluar sekolah karena tidak ada biaya. Pengen usaha saja. Di rumah yang bekerja hanya ibu saja,” ungkap bocah itu.

Meskipun tak sekolah, namun juga Daryanto tak mau pula di rumah saja. Ia lalu berinisiatif berjualan kue gandos. Ia mangkal di jalan Niti Simito No 645 Purwosari Kudus turut Desa Purwosari Kecamatan Jati. Dua bulan terakhir setiap hari ia mengakal di jalan tersebut. Ia berjualan kue gandos mulai dari pukul 16.00 WIB sampai selepas magrib.

Setiap hari, Daryanto mendapat penghasilan yang tak pasti. Penghasilan yang ia dapat antara Rp 20 ribu hingga Rp 40 ribu. Tergantung sepi atau ramainya pembeli. Uang hasil berjualannya itu digunakan ia untuk memenuhi kebutuhan ekonomi ibunya yang hanya seorang buruh warung makan.

“Untuk bantu ibu dan biaya kebutuhan di rumah,” ujarnya.

Andri Dwiastuti ibu Daryanto mengatakan tidak mengetahui apabila anak semata wayangnya itu berjualan kue gandos. Ia mengetahui dari tetangga-tetangganya. Ia mengakui semenjak ditinggal meninggal dunia suaminya pada tahun 2016 lalu, perekonomian keluarga menurun dratis. Karena tidak ada pemasukan penghasilan.

“Putus sekolah karena biaya. Anak saya kalau telat bayar SPP kan isin (malu), karena sering telat belum bayar SPP,” katanya.

Ia mengatakan selama tidak sekolah anaknya menghabiskan waktu berdiam diri di rumah. Untuk menghindari pergaulan tidak benar. Menurutnya, anaknya dibiarkan untuk berjualan kue gandos.

“Dari pada ndak sekolah. Biar kerja saja. Pengen saya ya sekolah. Tapi ekonomi keluarga seperti,” jelasnya.

Sementara, Bupati Kudus HM Tamzil mengaku belum tahu ada warganya yang mengalami nasib seperi itu. Sebab, sejauh ini tidak ada laporan dari dinas yang bertanggung jawab atas pendidikan. “Itu (kasus Slamet Daryanto putus sekolah) karena ketidaktahuan saja (dari pemerintah),” kata Tamzil.

Oleh sebab itu, Tamzil menekankan kepada Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Kudus agar lebih serius melihat fenomena yabg ada di tengah masyarakat. “Langkahnya dari Disdikpora jemput bola. Jangan hanya bangun GOR saja,” kata Tamzil.

Sejauh ini, lanjutnya, dia juga belum mendapat laporan berupa data jumlah warga Kudus yabg putus sekolah. Oleh karna itu, dia menekankan agar dinas terkait lebih serius dalam bekerja.