blank
Wakil Ketua DPRD Wonogiri, Dekik Suhardono dan Sunarmin (keempat dan ketiga dari kanan) menyerahkan cenderamata kepada DPRD Kabupaten Karo. Ikut mendampingi, Ketua Komisi 1 dan Ketua Komisi 2 DPRD Wonogiri, Sugeng Achmadi dan Sardi (kedua dan kesatu dari kanan).(suarabaru.id/bp)

KARO – Masyarakat Jawa memiliki falasafah asma kinarya japa. Yakni pemberian nama pada anak, ibarat untaian doa mantera permohonan, terkandung pengharapan agar kehidupan anak di kelak kemudian hari dapat sukses dan bahagia. Contohnya Suharto, Su (berlebih) Harto (harta benda), harapannya agar kelak menjadi orang yang hartanya berlebih atau kaya raya. Slamet Raharjo, Slamet (selamat) Rahajo (bahagia), supaya kelak menjadi orang yang hidupnya selamat dan bahagia.

Namun lain halnya dengan suku Batak Karo di Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Mereka dalam memberikan nama pada anaknya, suka mengaitkan dengan kejadian atau peristiwa yang dialaminya. Semisal, bila kebetulan orang tuanya sedang panen tomat, kemudian menerima kelahiran anak, maka anaknya diberi nama Tomat (kejadian panen buah tomat) dirangkai dengan nama marganya. Karena itu terlahir nama Tomat Tarigan, Tomat Sembiring dan lain-lain.
Demikian dijelaskan oleh pemandu wisata (guide tour) dari Nabila Tour and Travel Cabang Medan, Bambang Eko, didampingi Antok dari Solo, menceritakan, suatu ketika ada kejadian datang petugas dari Kantor Agraria melakukan pengkuran tanah warga yang akan terkena pelebaran jalan di wilayah Kabupaten Karo. Peritiwa ini, kemudian diabadikan menjadi nama anak Kena Ukur Karo Jambi Surbakti Perangin-angin. Pria kelahiran Karo, Sumut, Tanggal 17 Nopember 1946 dari marga Perangin-angin ini, pada usia 72 tahun dilantik mejadi Bupati Karo yang ke 17 untuk periode 2011-2016. Tapi pada Tahun 2014, diberhentikan terkait dengan kasus keaslian ijazahnya, dan masalah penanganan korban erupsi Gunung Sinabung.

Guide Tour Bambang Eko, yang merupakan generasi Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera), menceriterakan tentang kejadian yang diabadikan menjadi nama di masyarakat Batak Karo ini, saat memandu rombongan Pimpinan DPRD bersama awak media Kabupaten Wonogiri, yang melakukan studi banding ke DPRD Kabupaten Karo dan ke DPRD Kota Medan, Tanggal 26 sampai dengan 29 Nopember 2018 lalu. Rombongan dipimpin Wakil Ketua DPRD Sunarmin dan Suhardono, didampingi Ketua Komisi 1, Sugeng Achamadi, Ketua Komisi 2, Sardi, dan Ketua Komisi 4, Sriyono, beserta Kabag Persidangan Sekretariat DPRD Wonogiri, Sutopo, bersama staf.

Lain lagi dengan Suku Batak Toba, ketika memberikan nama anak, cenderung mengacu pada westren name, yakni meniru nama-nama orang Eropa. Contohnya Evelin, Robert, Jhoni,Jesica dan lain-lain, yang kemudian digabungkan dengan nama marganya menjadi Evelin Hutagalung, Robert Pardede, Jesica Nainggolan atau Jhoni Hutabarat. Suku Batak di Sumut terdiri banyak etnis, seperti Batak Angkola, Karo, Mandailing, Pakpak, Simalungun dan Toba. Kecuali itu, masih ada etnis Batak Pesisir (Barat Barus, Barat Sibolga, Timur Bagian Utara, Timur Bagian Selatan, Alas, dan Keluwat atau Kluet. Mereka merupakan suku bangsa di Tanah Air yang hidup di wilayah Provinsi Sumut bersama suku Melayu, Jawa, maupun Suku Nias dan Suku Pesisir, beserta etnis keturunan India dan Tionghoa.

Jalur jalan dari Medan menuju Berastagi, Kabupaten Karo, sepanjang 77 Kilometer (KM), diberi nama Jamin Ginting, yakni nama salah satu pahlawan di Sumut. Di sepanjang tepian ruas jalan dengan nama pahlawan terpanjang di Indonesia ini, banyak dijumpai papan nama bertuliskan BPK Ginting, BPK Sembiring dan lain-lain. ”Tapi BPK di sini jangan diterjemahkan sebagai Bapak. Itu singkatkan Babi Panggang Karo,” jelas Bambang Eko. Di sejumlah warung makan BPK, tergantung pula paha babi atau organ lain dari binatang bertaring tersebut, ibarat sebagai penguat bahwa babi panggang karo yang terkenal lezat rasanya itu, menjadi menu yang dijadikan komoditas kuliner unggulan. Ada warung BPK yang dilengkapi menu B1 (masakan daging babi non panggang) dan B2 yakni masakan daging anjing yang di Jawa dipopulerkan sebagai Sate Jamu, Sate Guguk, atau Rica-rica Jamu.

Ibukota Kecamatan Berastagi, kabupaten Karo, Sumut, berada di dataran tinggi dengan elevasi + 1.400 M di atas permukaan laut (Dpl). Hawanya dingin, namun menjadi destinasi wisata yang berkembang sejak zaman Belanda. Di lokasi ini, Belanda membangun fasilitas hotel dan gereja. Hotel tertua di Berastagi bernama Bukit Kubu Hotel, dibangun di salah satu puncak bukit yang memiliki halaman dan pekarangan luas menghijau, serta rimbun diteduhi pepohonan. Demikian halnya dengan Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi di Bukit Berastagi, menjadi bangunan gereja tua monumental yang menyertakan arsitektur bernilai local wisdom, yakni memakai pelengkap atap rumah gadang dengan empat muka yang menghadap empat arah mata angin. Ini merupakan ciri khas rumah Sumatera.(suarabaru.id/bp)