blank

Polemik Persyaratan Pencalonan Anggota DPD Pada Pemilu Serentak 2019

Oleh : Widayati

Pemilihan umum serentak akan digelar pada 17 April 2019. Sebagaimana ketentuan Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Peserta pemilihan umum untuk anggota DPR dan DPRD adalah partai politik, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden juga diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, sedangkan peserta pemilihan umum untuk calon anggota DPD adalah perseorangan.

Anggota DPR dan anggota DPD juga merupakan anggota MPR. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa : “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.” Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) tersebut artinya anggota DPR dan anggota DPD otomatis menjadi anggota MPR. Sebelum Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen, anggota MPR terdiri dari seluruh anggota DPR, ditambah utusan daerah, dan utusan golongan. Setelah Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen, di dalam keanggotaan MPR tidak ada lagi unsur utusan daerah dan utusan golongan.  Keberadaan DPD dalam keanggotaaan MPR merupakan perkembangan dari utusan daerah yang berasal dari non partai. Dengan demikian, di dalam keanggotaan MPR terdapat anggota  DPR yang merupakan perwakilan politik/representasi dari partai politik, dan anggota DPD yang berasal dari perseoranganyang merupakan representasi daerah.

Untuk menjadi anggota DPR dan anggota DPD harus memenuhi persyaratan tertentu. Anggota DPR harus berasal dari partai politik, sedangkan anggota DPD berasal dari calon perseorangan. Syarat untuk menjadi calon anggota DPD sebagaimana ketentuan Pasal 182 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah:

  1. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih
  2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
  3. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
  4. dapat berbicara, membaca, dan/atau menulis dalam Bahasa Indonesia
  5. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat
  6. setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika
  7. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidanayang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan narapidana
  8. sehat jasmani dan rohani, dan bebas dari penyalahgunaan narkotika
  9. terdaftar sebagai pemilih
  10. bersedia bekerja penuh waktu
  11. mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, kepala desa dan perangkat desa, Badan Permusyawaratan Desa, Aparatur Sipil Negara, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, dan /atau badan usaha milik desa, atau badan usaha lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali
  12. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, dan/atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara, serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
  13. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara, dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara
  14. mencalonkan hanya untuk 1 (satu) lembaga perwakilan
  15. mencalonkan hanya untuk 1 (satu) daerah pemilihan, dan
  16. mendapatkan dukungan minimal dari Pemilih di daerah pemilihan yang bersangkutan.

Akhir-akhir ini berkembang perdebatan mengenai persyaratan calon anggota DPD pada pemilihan umum tahun 2019. Hal ini disebabkan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang mengabulkan permohonan judicial review terhadap ketentuan Pasal 182 huruf l Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemilihan Umum.

Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 tersebut mengabulkan permohonan pemohon yaitu Muhammad Hafidz untuk seluruhnya. MK dalam putusannya menegaskan bahwa frasa “pekerjaan lain” yang tertuang di dalam Pasal 182 huruf l Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat bersyarat sepanjang tidak dimaknai mencakup pula pengurus partai politik.

Putusan MK tersebut berdampak pada larangan pencalonan anggota DPD dari unsur pengurus partai politik, artinya keanggotaan DPD tidak boleh diisi oleh pengurus partai polilik, mulai dari kepengurusan tingkat pusat sampai tingkat paling rendah sesuai dengan struktur organisasi partai politik yang bersangkutan.

Pertimbangan MK dalam putusannya adalah: pertama, anggota DPD  merupakan wujud representasi daerah yang memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. Pembentukan DPD dilandasi oleh pemikiran untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan-keputusan politik di tingkat nasional, terutama keputusan-keputusan politik yang langsung berkaitan dengan kepentingan daerah. DPD didesain untuk mengimbangi kekuatan DPR sebagai perwakilan partai politik. DPR merupakan lembaga negara yang oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diberi kekuasaan membentuk undang-undang bersama dengan Presiden. DPR dan Presiden merupakan dua lembaga negara yang diusulkan oleh partai politik, sehingga untuk perimbangannya, pengisian jabatan anggota DPD haruslah berasal dari luar partai politik.

Pertimbangan kedua adalah mencegah terjadinya distorsi politik berupa lahirnya perwakilan ganda (double representation) partai politik dalam pengambilan keputusan, terutama keputusan politik penting, misalnya dalam hal perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Putusan MK ini dikeluarkan pada tanggal 23 Juli 2018, pada saat tahapan pedaftaran calon anggota DPD belum selesai, karena masih pada tahap Daftar Calon Sementara ( DCS), dan terdapat rentang waktu mulai keluarnya putusan MK sampai dengan adanya Daftar Calon Tetap (DCT). Ada yang berpendapat bahwa putusan MK tidak boleh berlaku surut. Berkaitan dengan pendapat tersebut, tidak dapat dikatakan putusan ini retroaktif atau berlaku surut, karena DCT belum diumumkan. Dengan demikian, pengurus partai politik yang mendaftarkan diri menjadi calon anggota DPD untuk pemilihan umun tahun 2019, harus mengundurkan diri dari kepengurusan partai politiknya sebagaimana putusan MK.

Putusan MK ini mendapatkan reaksi keras dari partai-partai politik. Mereka tidak sependapat dengan putusan MK, terutama partai Hanura yang saat ini ketua umum partainya (Oesman Sapta Odang) menjadi Ketua DPD. Oesman Sapta Odang juga mencalonkan diri menjadi anggota DPD untuk pemilihan umum tahun 2019, dan berdasarkan putusan MK, pencalonannya dibatalkan oleh KPU karena Oesman Sapta Odang masih menjabat sebagai pengurus partai politik, bahkan sebagai ketua umum partai.  Perdebatan semakin tajam ketika kemudian ada putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan judicial reviewyang diajukan oleh Oesman Sapta Odang terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum(KPU) Nomor 26 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah. Ditambah lagi adanya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang mengabulkan gugatan Oesman Sapta Odang terhadap keputusan KPU yang membatalkan pencalonannya untuk menjadi calon anggota DPDpada pemilihan umum tahun 2019 karena tidak memenuhi syarat (TMS). Putusan MK, putusan MA, dan putusan PTUN yang berbeda atau saling bertentangan berkaitan dengan persyaratan calon anggota DPD tersebut dapat menimbulkan dualisme hukum.

Putusan MA dan putusan PTUN yang berbeda dengan putusan MK tentang persyaratan pencalonan anggota DPD apabila diimplementasikan sesungguhnya bisa berbahaya untuk sistem ketatanegaraan Indonesia. Kedua putusan tersebut (putusan MA dan putusan PTUN) hanya memikirkan kepentingan seseorang, sehingga akan dapat merusak sistem ketatanegaraan.Selain itu, putusan lembaga-lembaga peradilan yang saling bertentangan dan membingungkan untuk implementasinya akan mengurangi atau menggerus wibawa lembaga peradilan itu sendiri.

Putusan lembaga-lembaga peradilan yang berbeda atau saling bertentangan menjadikan KPUdan juga masyarakat bingung, putusan mana yang harus dilaksanakan. Sebenarnya kebingungan tidak perlu terjadi apabila kita kembali kepada hakikat keberadaan DPD sebagai representasi daerah atau teritori, sebagaimana desain ketatanegaraan yang dikehendaki oleh Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945.

KPU tidak perlu ragu untuk mengikuti putusan MK soal larangan pengurus partai politik menjadi calon anggota DPD, karena putusan MK sifatnya final and binding yang artinya putusan MKbersifat final, mengikat, dan tidak dapat dilakukan upaya hukum terhadap putusan tersebut. Putusan MK mempunyai kekuatan hukum tetap sejak selesai dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Disamping itu, putusan MK tentang pengujian undang-undang kedudukannya selevel atau setara atau sederajat dengan undang-undang.

Berkaitan dengan judicial review, MK dan MA mempunyai ranah yang berbeda. MK menguji Undang-Undang kesesuaiannya dengan Undang-Undang Dasar, sedangkan MA menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap Undang-Undang. Apabila terjadi pengujian peraturan perundang-undangan oleh MA, dan Undang-Undang yang menjadi batu uji sedang dilakukan pengujian pula oleh MK, maka pengujian oleh MA ditunda pemeriksaannya sampai ada putusan pengujian undang-undang oleh MK, agar tidak terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa, putusan MA tentang pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tidak boleh bertentangan dengan putusan MK.Putusan MA tentang judicial review terhadap Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 seharusnya mengacu kepada putusan MK. Jadi secara hierarki, sebenarnya putusan MK lebih tinggi dibanding putusan MA, dan juga putusan (PTUN).

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam hal persyaratan pencalonan anggota DPD,KPU tetap harus menjalankan putusan MK.Karena apabila keanggotaan DPD diisi pula oleh calon dari partai politik, maka akan terjadi double representation, dan juga akan bertentangan dengan hakikat keberadaan DPD itu sendiri sebagai representasi daerah.Oleh karena itu, calon anggota DPD harus berasal dari non partai, dan calon anggota DPR berasal dari partai politik,  sehingga di dalam lembaga perwakilan ada keseimbangan antara kepentingan partai politik yang diperjuangkan melalui keanggotaan DPR dan kepentingan daerah yang diperjuangkan melalui keanggotaan DPD.(suarabaru.id/Widayati, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang)