blank
Ali Mufiz (dua dri kanan) memberikan ceramah Etika Bermedsos di depan lulusan SJ PWI Fakultas Hukum Unissula Rabu (10/10)

SEMARANG – Mantan Gubernur Jawa Tengah  Ali Mufiz menawarkan penggunaan bahasa Jawa “kromo inggil” (bahasa Jawa halus) dalam percakapan di media sosial untuk meredam meluasnya unggahan berisi ujaran kebencian.

Mufiz ketika berbicara dalam peresmian kelulusan  mahasiswa peserta Sekolah Jurnalistik Paket 6 Pekan PWI Jateng angkatan VI  di Fakultas Hukum  Universitas Islam Sultang Agung  (Unissula) Semarang, Rabu, mengakui bahwa bahasa Jawa memang tidak egaliter, tapi bisa mendidik seseorang untuk rendah hati, bertutur halus, sekaligus menghormati orang lain.

“Saya tidak pernah mendengar orang marah-marah dengan menggunakan bahasa Jawa ‘kromo inggil’ karena di dalamnya ada rasa untuk menghormati pihak lain,” katanya.

Cendekiawan asal Undip tersebut menjelaskan bahwa bahasa selalu dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat sehingga ketika berkomunikasi, pengguna bahasa selalu berusaha menekankan pesannya melalui diksi yang dipilih dalam tuturannya.

Ia memberi contoh penggunaan kata ganti “kamu” dalam bahasa Jawa yang memiliki gradasi, mulai dari kasar hingga halus demi menghormati lawan bicara.

Kata “kowe” (kamu), cenderung dihindari karena selain terkesan merendahkan, artinya juga tidak tepat untuk menunjuk lawan bicara seorang manusia. Kata “kowe”, ujar dosen Undip itu, dalam bahasa Jawa artinya kera.

Dalam derajat kata ganti “kamu”, menurut dia, orang Jawa memilih menggunakan kata “sampeyan”, “panjenengan”, bahkan ada yang menggunakan kata “gusti”. “Pemilihan diksi tersebut (bukan ‘kowe’) digunakan untuk menghormati pihak lain,” katanya.

Ali Mufiz mengaku gusar dengan makin meluasnya ujaran kebencian yang diamplifikasi melalui media sosial sehingga bisa dimaklumi bila ada negara yang mencari jalan pintas dengan menggagas penutupan mesin pencari Google.

Ia menjelaskan bahasa merupakan salah satu media dalam pembentukan karakter bangsa sehingga sudah seharusnya bahasa diperlakukan sebagai alat komunikasi dengan tujuan kebajikan.

“Apa mereka (penyebar ujaran kebencian) tidak sadar kalau pesan itu bisa melukai orang lain, kecuali (unggahan) itu memang direncanakan (by designed),” ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa kata-kata itu tidak bebas nilai sehingga penggunanya pun harus sadar bahwa setiap pilihan kata membawa konsekuensi.(suarabaru.id/sl)