blank

SEMARANG-Organisasi, apapun bentuknya, berapapun banyaknya orang yang terlibat didalamnya pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai. Tujuan masing-masing orang yang ada dalam organisasi tentunya tidaklah sama satu dengan yang lainnya. Ada yang mau masuk dan terlibat dengan organisasi karena ingin memperoleh aktualisasi diri dan memperoleh income.

Ada juga yang  masuk ke dalam organisasi karena memiliki tujuan untuk ibadah, berbuat untuk masyarakat melalui perantara organisasi. Diatas tujuan masing-masing individu, tentunya ada tujuan bersama yang akan dicapai oleh organisasi, yaitu mewujudkan visi dan misi.

Tujuan organisasi, biasanya di formulasikan dalam bahasa yang umum yang seringkali menimbulkan ambiguitas pemaknaan dan penerapan di level bawah. Untuk itu, organisasi biasanya membuat sasaran dan tujuan-tujuan kecil  yang didelegasikan kepada bagian atau sub bagian dan pencapaiannya biasanya dimulai dari orang yang berada di level paling bawah.

Untuk memudahkan mengukur keberhasilan mereka dalam mencapai tujuan-tujuan kecil tersebut, organisasi kemudian menyusun indikator-indikator pencapaian. Jadi benar apa yang dikatakan oleh  penulis buku Administrative Behavior, Simon (1997) bahwa tugas mewujudkan sasaran organisasi sebenarnya berada pada orang orang di tingkat paling bawah dari organisasi. Oleh karena itu, seseorang yang berada pada level paling dibawah dari struktur organisasi tidak boleh diabaikan karena merekalah yang menentukan keberlangsungan dan tercapainya tujuan organisasi.

Bagaimana untuk tidak mengabaikan mereka?

Pada umumnya organisasi akan merasa sudah memperhatikan karyawan dengan baik bila organisasi sudah memberikan gaji, bonus, tunjangan, incentive, yang umumnya bersifat materi kepada para karyawannya, yang sebenarnya muaranya adalah employee satisfaction (kepuasan karyawan). Padahal dalam employee satisfaction yang diukur bukan hanya pada hal-hal yang sifatnya materi, tetapi juga menyangkut kebijakan organisasi, kesempatan untuk berkembang, lingkungan kerja yang nyaman, bahkan sampai pada perilaku atasan.

Pendekatan employee satisfaction ini memang baik, tapi apa yang dilakukan hanya mampu untuk membuat karyawan “just doing my job” atau “just doing the instruction”. Mereka akan datang dan pulang tepat waktu, taat mengikuti aturan organisasi, mengerjakan apa yang diperintahkan. Sehingga banyak karyawan yang disiplin tetapi sebenarnya mereka hanya melakukan kewajibannya saja. Itu artinya employee satisfaction hanya mendorong komitmen pribadi saja, bukan komitmen bersama.

Kalau yang didapat organisasi dari karyawannya hanyalah “just doing my job atau just doing the instruction” berdasarkan komitmen pribadi maka sebenarnya organisasi itu merugi, atau hanya balik modal – BEP (break event point), alias tidak mendapatkan laba keuntungan apa-apa dari karyawannya.

Organisasi, sebenarnya bisa memperoleh keuntungan berlipat bila mau memperlakukan karyawan sebagai relasi, bukan hanya sebagai pekerja. Relasi yang baik hanya bisa dibangun dengan komunikasi yang baik pula. Dalam perspektif karyawan, hubungan atasan bawahan yang ideal dan baik merupakan faktor kunci, sehingga dapat menciptakan suasana dimana seseorang bisa merasa terlibat dengan pencapaian tujuan organisasi. Jadi, selain diupayakan untuk melakukan employee satisfaction penting juga untuk melakukan employee engagement (keterlibatan karyawan).

Employee engagement berkaitan dengan bagaimana kemampuan organisasi untuk mendorong  karyawan agar dapat terlibat secara emosi dan memiliki keterikatan dengan organisasi sehingga mereka bisa menunjukkan potensi terbaiknya dan memberikan kontribusi besar bagi kemajuan organisasi.

Untuk itu, praktik komunikasi internal yang efektif, baik yang bersifat formal maupun non formal, verbal maupun non verbal menjadi kunci penggerak dari employee engagement. Efektifitas kemepimpinan dan kemampuan manajemen untuk menerima masukan, kemampuan untuk mengkomunikasikan secara terbuka keadaan organisasi, mengarahkan organisasi ke arah yang benar, merupakan hal yang sangat penting untuk memperoleh engagement. Hal lain yang juga mempengaruhi engagement karyawan adalah apabila nilai-nilai pribadi mereka dihargai, mereka diperlakukan dengan adil, dan organisasi peduli dengan apa yang mereka rasakan.

Karyawan yang engage akan bekerja tidak hanya dilandasi oleh motivasi personal, tetapi lebih kepada motivasi bersama organisasi untuk mencapai tujuan dan kemajuan bersama. Mereka tidak sekedar bekerja dalam rangka “just doing my job”, tetapi mereka akan “doing my job above and beyond”. Mereka akan  melakukan pekerjaan yang luar biasa untuk organisasi, akan medorong kreativitas, meningkatkan pemberdayaan dan inovasi, yang tentunya bukan hanya sekedar menjalankan prosedur dan kebijakan. Memiliki karyawan yang ter-engaged sama saja dengan memiliki investasi yang sangat menguntungkan.

Sebaliknya, meskipun organisasi sudah memberikan gaji, tunjangan, reward dan incentive yang besar tetapi jika karayawan merasa tidak diperhatikan, nilai-nilai pribadi mereka diabaikan, perilaku atasan mengecewakan, maka mereka akan disengaged (merasa bukan bagian dari organisasi). Mereka bekerja hanya untuk mengejar materi saja, bukan untuk mencapai tujuan organisasi. Ini kerugian besar.

Dalam sebuah survey menunjukkan bahwa persoalan employee engagement menjadi satu diantara tiga topik yang menjadi persoalan yang paling sering dihadapi oleh organisasi yang erat kaitannya dengan efektifitas komunikasi internal. Sehingga disini diperlukan strategi komunikasi yang baik untuk memberikan rencana terstruktur guna memperjelas penekanan pesan kepada karyawan. Riel & Fombrun (2008) menyebutkan bahwa komunikasi internal adalah kunci dalam membangun organizational identification, yaitu sebuah kondisi dimana karyawan merasa bangga untuk bekerja, memiliki rasa aman, dan sense of belongin kepada organisasi yang diwujudkan dalam dedikasi pribadi dalam bekerja. Dan DeRidder (2009) mengatakan bahwa organizational identification adalah faktor yang menghasilkan employee engagement.

Jadi, tingkat engagement karyawan bukanlah satu kondisi yang berdiri sendiri, yang bisa dituntut oleh organisasi dari karyawannya dengan cuma-cuma, tetapi memerlukan perhatian dan keseriusan yang tinggi dari manajemen untuk merangkul mereka, dus, mengintimidasi mereka dengan aneka ancaman yang terlembaga. Sehingga pada akhirnya karyawan bisa menaruh hatinya pada organisasi, dan akan menunjukkan kinerja yang maksimal tanpa diiming-imingi reward yang menggiurkan sekalipun.(suarabaru.id/Trimanah, M. Si Dosen Ilmu Komunikasi UNISSULA)