blank
Dr. H. Jawade Hafidz, S.H.,M.H.,Dosen Fakultas Hukum Unissula

SEMARANG-Berdasarkan ketentuan di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa : “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Sebagai sebuah negara hukum, maka segala aktivitas penyelenggaraan kenegaraan dan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara harus didasarkan atas hukum.

Tidak ada negara, tanpa hukum. Jika suatu negara, tidak ada hukum yang dijadikan norma yang mengatur dan menertibkan maka kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara akan terjadi kekacauan. Tanpa adanya hukum, maka hak-hak dan kepentingan-kepentingan rakyat akan saling berbenturan, pihak yang kuat akan menindas pihak yang lemah, dan kejahatan menjadi semakin marak. Hukum sangat dibutuhkan di dalam setiap aspek dan berbagai bidang, sehingga akan tercipta keteraturan dan ketertiban dalam ke-hidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Hamid S. Attamimi mengatakan bahwa dalam abad ke-20 ini, hampir tidak ada suatu negara pun yang menganggap sebagai negara modern tanpa menyebutkan dirinya “negara berdasar atas hukum”. Budiono mencatat bahwa sejarah pemikiran manusia mengenai politik dan hukum secara ber-tahap menuju ke arah kesimpulan bahwa negara merupakan negara yang akan mewujudkan harapan para warga negara akan kehidupan yang tertib, adil, dan sejahtera jika negara itu diselenggarakan berdasarkan hukum sebagai aturan main.

Setiap warga negara, baik penyelenggara negara dan masyarakat wajib untuk mentaati hukum yang berlaku (hukum positif). Pelanggaran atas hukum akan dikenai sanksi sebagai upaya paksa untuk melaksanakan hukum. Setiap warga negara juga mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, sebagaimana ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa : “Setiap orang ber-hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian (certainty), keadilan (justice), dan kebergunaan/kemanfaatn (utility). Legal certainty penting untuk menjamin prediktibilitas kegiatan eko­nomi, keadilan penting untuk menjamin peme-rataan, dan kebergunaan/kemanfaatan penting untuk memastikan bahwa kebebasan yang dinikmati terukur dan teratur berdasarkan ketentuan yang disepakati bersama.

Nilai dasar hukum, baik kepastian, keadilan maupun kemanfaatan adalah nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi dan diupayakan di dalam pelaksanaan dan penegakan hukum di negara hukum Indonesia. Negara hukum Indonesia juga bertujuan mewujudkan kesejahteraan umum. Hal ini sebagaimana tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang di dalam Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indo-nesia Tahun 1945, yang berbunyi : “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…”.

Dengan demikian, paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham kerakyatan. Hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan negara (pemerintahan), diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat. Dalam kaitannya dengan negara hukum, kedaulatan rakyat merupakan unsur material negara hukum, di samping masalah ke-sejahteraan rakyat.

Sebagai bentuk pelaksaan prinsip negara hukum kesejahteraan (welvare state), maka setiap aktivitas penyelenggaraan negara yang ditujukan untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, maka dilaksanakan dengan berdasar atas hukum yang berlaku. Hukum harus dilaksanakan dan ditegak-kan, tanpa terkecuali, dan tanpa membeda-bedakan strata sosial, suku, ras, agama, maupun golongan.

Pada era reformasi, kehidupan berhukum di Indonesia masih meng-alami kekacauan. Reformasi yang didengungkan dari tahun 1998 untuk melakukan perubahan diberbagai bidang, ternyata belum dapat memberikan hasil yang diinginkan, bahkan hukum digunakan oleh sebagian oknum penyelenggara negara atau pejabat negara untuk melegalkan kejahatannya dengan mencari celah kelemahan hukum dengan melakukan korupsi untuk mengambil keuntungan bagi diri mereka pribadi, keluarga maupun kroni-kroninya.

Korupsi dapat didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Korupsi mencakup perilaku pejabat-pejabat sektor publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang memperkaya diri mereka secara tidak pantas dan melanggar hukum, atau orang-orang yang dekat dengan mereka, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercaya-kan pada mereka.

Kejahatan ini hingga sekarang semakin marak, yang dapat dilihat di media massa maupun media elektronik, salah satunya adalah kasus e-KTP yang melibatkan banyak oknum pejabat, yang kemudian tersangka dengan berbagai cara dan upaya agar tidak terjerat kasus korupsi, seperti tersangka tindak pidana korupsi yang tiba-tiba sakit, mengajukan pra peradilan, dan sebagainya.

Korupsi tidak bisa dilepaskan dari kolusi dan nepotisme. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) hanya mempunyai batasan tipis, dan tindakan tersebut berkaitan dan termasuk dalam unsur perbuatan korupsi. I.G.M. Nurdjaman sebagaimana dikutip oleh Jawade Hafidz mengemukakan bahwa kolusi atau collusion adalah suatu kesepakatan atau persetujuan dengan tujuan bersifat melawan hukum atau melakukan suatu tindakan penipuan, sedangkan nepotisme adalah suatu perbuatan atau tindakan atau pengambilan keputusan secara subjektif dengan terlebih dahulu mengangkat atau memberikan jalan dalam bentuk apapun bagi keluarga, kelompok, dan golongannya untuk suatu kedudukan atau jabatan tertentu.

Melihat fenomena hukum dan fakta-fakta empirik perilaku hukum penyelenggara Negara dalam menangkal perilaku koruptif guna mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi yang kental menjadi penting menghadirkan dan menerapkan prinsip-prinsip hukum progresif. Semangat hukum progresif lebih mengedepankan prinsip keadilan sekalipun ia harus mengesampingkan hukum positif  karena hanya dengan mendahulukan nilai keadilan hukum akan mampu menghadirkan nilai kepastian dan kemanfaatan hukum.

Kekuasaan yang melekat pada pejabat disalahgunakan, hanya untuk mencari keuntungan. Mereka seakan lupa bahwa uang negara adalah uang rakyat, yang penggunaannya harus diutamakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan hanya segelintir orang yang menikmatinya.

Paradigma hukum progresif adalah hukum bukan alat untuk melindungi kepentingan penguasa, yang membiarkan penguasa bertindak sewenang-wenang, akan tetapi hukum merupakan alat untuk menangkal perilaku koruptif penyelenggara Negara guna menyelesaikan konflik yang melahirkan ketertiban, keharmonisan berdasarkan harkat dan martabat kemanusiaan. Adanya negara hukum Indonesia bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang aman, tertib, adil dan sejahtera sehingga dengan demikian hukum ditegakkan dan dijunjung tinggi dan menjadi kewajiban semua pihak untuk menegakkan hukum atas dasar nilai-nilai kemanusiaan dan martabat kemanusiaan.

Sangat ironis sekali, di negara hukum Indonesia ini, kejahatan semakin marak, terutama kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum pejabat serta sangat merugikan keuangan negara dan mengakibatkan penderitaan rakyat. Jika pun hukuman dijatuhkan pada para koruptor, hukuman yang dijatuhkan hanya berapa tahun, tidak sebanding dengan perbuatan mereka yang sudah mengkhianati amanat rakyat.

Masalah pokok di dalam pelaksanaan hukum dan keadilan adalah manusia, maka pokok persoalan manusia dalam konteks proses hukum yang adil adalah keadilan. Hans Kelsen yang merupakan pelopor bagi ajaran hukum murni menegaskan bahwa pengertian hukum harus dibedakan dari pengertian keadilan. Jawaban bagi pertanyaan mengenai daya laku dari hukum se­hingga kaidah-kaidahnya harus dilaksanakan dan dipatuhi, sangat ter­gantung dari hubungan yang ditetapkan antara hukum dan keadilan. Hubungan tersebut pada dasarnya sesuai pandangan Gustav Radbruch yang mengatakan bahwa hukum bisa saja tidak adil, tetapi hukum hanyalah hukum karena maunya adil. Meskipun demikian, hubungan an­tara hukum dan keadilan seperti yang di-rumuskan oleh Radbruch itu belum lagi menjelaskan banyak persoalan mengenai hakikat dari keadilan itu sendiri dan dengan demikian juga mengenai persoalan apakah hukum itu kondusif menuju keadilan.

Kehidupan berhukum di Indonesia masih menimbulkan ke­prihatinan dan kekecewaan masyarakat. Hukum tidak mampu mendatangkan keadilan bagi semua. Penegakan hukum (law forcement) ibarat sebilah pisau dapur, tajam ke bawah tumpul ke atas. Hukum bersifat represif bila berhadapan dengan orang kecil tak berpunya (the poor). Sebaliknya, terhadap orang ber-duit (the haves) hukum bersifat protektif dan memihak. Hukum yang memihak tak akan mampu mewujudkan keadilan di masyarakat. Asas hukum bahwa setiap orang adalah sama di hadapan hukum (equality before the law), diubah masyarakat menjadi “tetapi tidak di hadapan penegak hukum”.

Pada dasarnya keberhasilan penegakan hukum di Indonesia sangat membutuhkan peranan dari faktor manusianya. Seburuk-buruknya hukum yang dibuat, akan tetapi jika faktor manusianya mempunyai tekad yang kuat dan berani dalam menegakkan hukum dan keadilan, maka hukum akan dapat ditegakkan. Untuk apa hukum dibuat sebaik mungkin, menutup semua celah yang dapat digunakan oleh koruptor untuk melegalkan perbuatannya, akan tetapi penegak hukum dan masyarakat tidak peduli dengan perbuatan korup tersebut, tentunya penegakan hukum tidak akan pernah tercapai.

Kehidupan hukum di Indonesia yang sudah semakin kacau, serta pe-negakan hukum yang tidak kunjung memberikan hasil, dan bahkan korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi semakin menjadi-jadi, maka sangat diperlukan cara berhukum yang progresif untuk menangkal perilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotis

Berdasarkan pada pendahuluan yang telah dikemukakan di atas, penulis merumuskan permasalahan berikut : Bagaimanakah pengaruh hukum progresif dalam menangkal perilaku koruptif penyelenggara negara ?

Pembahasan

Ubi societas ibi ius atau di mana ada masyarakat di situ ada hukum, memang benar adanya. Hukum ada karena adanya masyarakat. Hukum ada untuk menjaga keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat. Dengan demi-kian, antara manusia (masyarakat) dan hukum terdapat korelasi

Cicero mengatakan bahwa ada masyarakat ada hukum, maka yang dibicarakan sebenarnya adalah hukum yang hidup di tengah-tengah masya-rakat (manusia). Hukum dan manusia memiliki kedekatan yang khas dan tidak dapat dipisahkan. Artinya tanpa manusia hukum tidak dapat disebut sebagai hukum. Hukum merupakan bagian yang menempatkan manusia sebagai subjek dan objek dalam kajiannya, manusia mengkonstruksi hukum untuk kepentingan manusia.

Perilaku manusia sangatlah menentukan keberhasilan penegakan hukum, sebagaimana halnya perilaku manusia juga mempengaruhi munculnya kejahatan-kejahatan yang semakin marak terjadi, baik kejahatan konvensional maupun white collar crime. Di sinilah peran hukum untuk memberantas dan menangkal kejahatan dan perilaku korup para oknum pejabat dan penye-lenggara negara.

Diharapkan berhukum secara progresif dapat membawa perubahan dalam pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia yang belum dapat dikata-kan telah berhasil. Aspek moralitas harus diutamakan, untuk mengubah peri-laku penegak hukum dan masyarakat agar dapat menangkal perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme.

Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum progresif dimaksudkan bahwa hukum hendaknya mampu mengikuti per-kembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.

Masih terdapat hukum di Indonesia, yang merupakan peninggalan zaman kolonial Belanda. Hal tersebut tentunya sudah tidak sesuai di era kemerdekaan dan perkembangan zaman saat ini, yang ditandai dengan adanya globalisasi maupun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Se-bagaimana diketahui, modus kejahatan saat ini semakin berkembang dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Cara ber-hukum yang sekarang, ternyata tidak mampu menyelesaikan persoalan hukum yang ada. Hukum progresif menjadi solusi untuk melaksanakan hukum dengan cara lebih baik dengan mengusung moralitas serta aspek manusianya.

Istilah hukum progresif dalam berbagai konteksnya sangat melekat pada penggagas, pejuang dan pengembang gagasan ini, yakni Satjipto Rahardjo. Sekalipun tidak sama persis, Van Gerven dalam bukunya “Theorie en Praktijk van de Rechtsvinding” pernah memperkenalkan aliran progresif dalam penemuan hukum. Jika itu benar, Satjipto Rahardjo berhasil mengembangkan gagasan aliran progresif dalam berhukum menjadi lebih utuh, sistematis dan mendekati sempurna.

Dalam hukum progresif, pada dasarnya hukum adalah untuk manusia, dan bukan manusia untuk hukum. Benar, hukum ada untuk melindungi kepentingan masyarakat. Sebagai subjek dan objek hukum, maka manusia tidak hanya sebagai pelaksana tetapi juga sebagai tujuan dari penegak hukum. Proses penegakan hukum yang selama ini dilakukan, dapat dikatakan telah

gagal karena hukum belum bisa melindungi hak-hak pelaku kejahatan maupun korban, dan pada saat pelaku kejahatan keluar dari lembaga pemasyarakatan pun, mereka sulit diterima masyarakat karena black label dari masyarakat yang tidak mau menerima mantan penjahat hadir kembali di tengah-tengah mereka.

Gagasan hukum progresif mengusung panji-panji hukum untuk manusia. Karakteristik hukum progresif berupa rule breaking, lompatan hukum yang ditujukan kepada penegak hukum untuk menghadirkan keadilan kepada masyarakat (bringing justice to the people) melalui 3 (tiga) kegiatan pokok, yaitu : [1]

  1. Mempergunakan kecerdasan spiritual untuk bangun dari keterpurukan hukum memberikan pesan penting bagi kita untuk berani mencari jalan baru (rule breaking) dan tidak membiarkan diri terkekang cara lama, menjalankan hukum yang lama dan tradisional yang jelas-jelas lebih banyak melukai rasa keadilan;
  2. Pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam menjalankan hukum dan bernegara hukum. Masing-masing pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum didorong untuk selalu bertanya kepada hati nurani tentang makna hukum yang lebih dalam;
  3. Hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi dengan perasaan, kepedulian dan keterlibatan (commpassion) kepada kelompok yang lemah.

Permasalahan utama adalah meningkatnya korupsi itu seiring dengan kemajuan, kemakmuran, dan teknologi. Semakin maju pembangunan suatu bangsa, semakin meningkat pula kebutuhan dan mendorong orang untuk melakukan korupsi.

Menurut Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tahun 1997 sebagaimana dikutip oleh Rohim bahwa korupsi disebabkan karena beberapa aspek, yakni :

  1. Aspek individu pelaku korupsi, seperti sikap tamak, moral dan iman yang lemah, sehingga tidak dapat menahan godaan hawa nafsu serta peng-hasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar;
  2. Aspek organisasi, seperti kurang adanya teladan dari pimpinan, tidak adanya kultur organisasi yang benar dan manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya;
  3. Aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada seperti nilai-nilai yang berlaku di masyarakat yang ternyata kondusif untuk terjadinya korupsi. Masyarakat kurang menyadari bahwa yang paling dirugikan oleh setiap praktek korupsi bukan hanya negara, namun masyarakat luas juga akan terkena dampak korupsi itu.

Pada dasarnya, perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme disebabkan karena menurunnya moralitas masyarakat, khususnya penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadinya, dan gagal-nya penegakan hukum tindak pidana korupsi juga dikarenakan menurunnya moralitas dan tidak adanya keberanian dari penegak hukum.

Penerapan hukum progresif dalam menangkal perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme diperlukan kesiapan mental yang kuat dan keberanian untuk menegakkan hukum. Tanpa adanya mental yang kuat dan keberanian pada penegak hukum dan masyarakat, niscaya hukum tidak akan dapat ditegakkan. Hukum akan tetap tajam ke bawah, dan tumpul ke atas, karena ketakutan akan kekuasaan yang begitu besar pada diri masyarakat dan penegak hukum. Sikap dan perilaku yang demikian harus segera diubah.

Kebenaran harus terus-menerus dicari. Nilai-nilai dasar hukum, yakni kepastian, kemanfaatan dan keadilan diupayakan untuk disejajarkan. Untuk menangkal perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme, maka masyarakat dan penegak hukum harus berpegang teguh pada hati nurani. Apakah dengan melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, perbuatan itu sudah benar? Apakah tidak merugikan orang lain?, maka posisikan diri sendiri yang “mempunyai niat” untuk melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme pada posisi pihak yang menjadi korban, dalam hal ini rakyat.

Sangat dibutuhkan kejujuran dan keberanian dari masyarakat dan penegak hukum dalam menerapkan hukum progresif untuk menangkal perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme, karena pada dasarnya hukum progresif berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat. Begitu halnya dengan para penegak hukum, tidak hanya melaksanakan peraturan perundang-undangan, tetapi untuk bersiap dan berbuat dalam rangka penegakan hukum, tetap mendengarkan hati nurani. Masyarakat dan penegak hukum harus memiliki keberanian dalam mencari kebenaran dan menegakkan keadilan, meskipun hal tersebut harus melanggar undang-undang, karena tidak selama-nya undang-undang dibuat dapat memberikan keadilan bagi masyarakat. Undang-undang dapat memberikan kepastian hukum, tetapi belum tentu dapat memberikan keadilan.

Perilaku manusia mempunyai peran yang besar dalam penegakan hukum dalam menangkal perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme. Komponen manusia sangat penting dalam penegakan hukum progresif, oleh karena membutuhkan niat yang besar dan sikap dari manusia itu sendiri untuk melaksanakan dan menegakkan hukum, bukan hanya menjalankan perintah undang-undang.

Dapat dijadikan sebagai panutan dan contoh dalam penegakan hukum saat ini adalah almarhum Baharuddin Lopa seorang jaksa yang berani, dan hakim Bismar, dan seorang polisi Hoegeng, yang berbeda dari rekan-rekannya yang lain. Faktor yang membedakan mereka dengan rekan-rekannya adalah sikap tegas, keberanian, dan kejujuran dari Lopa, Bismar, dan Hoegeng yang selalu mengedepankan hati nurani,

D. Kesimpulan

1. Paradigma hukum progresif, pada dasarnya adalah hukum untuk manusia, dan bukan manusia untuk hukum, sehingga pemberlakuan hukum dalam masyarakat haruslah memanusiakan manusia untuk menciptakan suasan keteraturan, kerukunan, keharmonisan dan kenyamanan dalam realitas kehidupan manusia yang berkeadilan.

2. Untuk mewujudkan tujuan hukum progresif dalam menangkal perilaku Koruptif penyelenggara Negara, diperlukan penguatan kesadaran akan  pentingnya etika moral penyelenggara negara sebagai sumber nilai yang menjiwai seluruh tindakannya dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai penyelenggara Negara.

3. Pengaruh hukum progresif dalam menangkal perilaku koruptif bagi penyelenggara negara menjadi bagian yang harus terintegrasi dalam diri setiap penyelenggara Negara dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. (suarabaru.id/Dr. H. Jawade Hafidz, S.H.,M.H. /Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang dan Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Program Studi Ilmu Hukum Indonesia).