blank
Para seniman, budayawan, dan pecinta budaya, mengikuti sarasehan budaya Tahun 2018 di aula Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Kabupaten Wonogiri.(suarabaru.id/bp)
WONOGIRI – Seni tradisi di Tanah Air, mengalami lesu darah, hidup enggan mati pun belum. Bernasib garang tapi gersang, meski eksistensinya penuh vitalitas tapi kesepian, namun memiliki predikat penyebutan antik dan adi luhung. Keberadaannya, kini menjadi seni yang sekadar bertahan dan tersisihkan.
Pendapat ini, dikedepankan Budayawan Bambang Murtiyoso, Selasa (3/7), ketika tampil menjadi nara sumber dalam sarasehan budaya Tahun 2018, yang digelar di aula Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Kabupaten Wonogiri. Mantan dosen Akademi Seni Kerawitan Indonesia (ASKI) dan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), serta pensiunan pengajar di Institus Seni Indonesia (ISI) Surakarta ini, menyampaikan makalah ‘Penguatan seni tradisi lokal dalam menghadapi tantangan global.’
Kepala Dikbud Wonogiri yang diwakili Sekretaris Dikbud Sriyanto, tampil membuka resmi sarasehan ini. Tampil pula nara sumber Bendara Raden Mas (BRM) Bambang Irawan, Dosen UNS Sebelas Maret yang menjabat sebagai Kepala Pengembangan Pariwisata (Puspari) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UNS Solo.
BRM Bambang Irawan yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Surakarta (DKS), menyampaikan materi tentang Pemajuan Kebudayaan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor: 5 Tahun 2017. Bangsawan Keraton Surakarta Hadiningrat ini, mengawali paparannya dengan lebih dulu melantunkan ‘bowo’ (pembuka tembang) yang dirangkai dengan lantunan Dandanggula ‘Mari Kangen’ laras Pelog Pathet Enem.
Kabid Kebudayaan Dikbud Kabupaten Wonogiri, Eko Sunarsono, menyatakan, saresehan budaya kali ini diikuti oleh 50 orang peserta yang merupakan para pelaku budaya dan seniman tradisi serta pecinta budaya yang eksis di Kabupaten Wonogiri. Dalam sarasehan ini, disajikan hiburan seni kerawitan dari Pondok Pesantren (Ponpes) Hanacaraka, Desa Purwosari, Kecamatan Wonogiri Kota, dengan menampilkan duet waranggana Linda Rohmiyati (peraih gelar juara pertama lomba sinden tingkat nasional) dan Batri Ayu Saraswati. Alunan instrumen tabuhan gamelan dalam irama mendayu, ditampilkan mengiringi doa yang disampaikan oleh Ustadz Ahand Mahabie.
Bambang Murtiyoso, menyatakan, berbagai potensi kesenian tradisional di Tanah Air, menjadi aset kekayaan kebudayaan nasional. Ironisnya, pembinaan yang dilakukan pemerintah, masih terbatas pada unsur formalitas belaka, tanpa menyentuh esensi kehidupan berkesenian.
Bambang Murtiyoso, menyebutkan, agar seni tradisi tetap eksis, perlu langkah inovasi yang berorientasi global. Ini dapat mengacu pada penggarapan wayang kulit yang berpedoman pada aspek devosional, etika, estetika dan unsur hiburan. ”Dengan mengedepankan seni kemas (kitch), yang mengandung empat hal, yaitu trik, gimmick (teknik tipu agar tak mudah ditebak antiklimaksnya), glamour dan sex appeal (daya tarik seksual). ”Yang tidak hanya sebatas mengembangkan bentuk lahir semata,” tandasnya.

Dalang Ki Widodo Wilis, berharap, bijaksana dalam sarasehan budaya, disamping menghadirkan budayawan juga sosok yang berkapasitas sebagai Imam. Pengasuh Sanggar Tari Pracimantoro, Wasiman, mempertanyakan pengucapan yang benar kata ‘Kula’ atau ‘Kawula’ dalam bahasa Jawa. Juga tentang pedoman pemakaian busana Jawa yang betul.(suarabaru,id/bp)