blank
Sebagai Kontingen Tari Provinsi Jateng, para murid SMK Negeri 2 Wonogiri pimpinan Kasek Suwandi, yang menyajikan Tari Bangun Tulak, berhasil meraih gelar sebagai penyaji tari terbaik tingkat nasional dalam lomba festival parade tari tahun 2018 di TMII Jakarta.(SMNet.Com/bp)

 

WONOGIRI -Tari Bangun Tulak yang dimainkan para siswa SMK Negeri 2 Wonogiri, berhasil mengukir prestasi yang prestisius. Yakni meraih gelar sebagai penyaji terbaik tingkat nasional, ketika tampil mengikuti gelar festival parade lomba pawai Tari Nusantara Tahun 2018 di Taman Mini Idonesia Indah (TMII) Jakarta.

Kepala SMK Negeri 2 Wonogiri, Suwandi, Jumat (20/4), menyatakan, Tari Bangun Tulak sebelumnya terpilih untuk menjadi Kontingen Tari Provinsi Jateng, maju ke lomba festival parade tari tingkat nasional tahun 2018 yang digelar pekan lalu di TMII Jakarta.

‘’Jadi kami maju ke TMII itu membawa bendera Kontingen Jateng,’’ jelas Suwandi. Atas prestasi sebagai penyaji terbaik tingkat nasional, Tari Bangun Tulak mendapatkan piala, piagam dan uang pembinaan Rp 10 juta.

Lomba festival tari tingkat nasional tersebut, diikuti oleh duta-duta tari dari kontingan seluruh provinsi di Tanah Air. Masing-masing melakukan arak-arakan parade, dan ketika sampai di depan panggung kehormatan, menampilkan display selama 10 menit.

‘’Tidak mengira kalau kami berhasil meraih gelar sebagai penyaji terbaik tingkat nasional. Ini menjadi sesuatu yang membanggakan bagi Kabupaten Wonogiri dan Provinsi Jateng,” ujar Kasek SMK Negeri 2 Wonogiri, Suwandi.

Dalam filosofi Kejawen, Bangun (Bango) Tulak merupakan salah satu corak batik tradisional. Memiliki dominasi warna hitam dan putih, dan masuk dalam khasanah motif batik tua. Penyebutan nama Bangun Tulak diilhami oleh burung Bango (Bangau) yang mempunyai warna bulu hitam dan putih (warna tulak). Yakni warna yang melambangkan umur panjang. Warna hitam, diartikan sebagai lambang kekal (langgeng), sedang warna putih sebagai lambang hidup (sinar kehidupan). Dengan dengan demikian, paduan warna hitam-putih melambangkan hidup kekal.

Makna dalam filosofi Kejawen, Bangun Tulak mengandung sikap pasrah atas kehidupan manusia kepada Sang Maha Langgeng, yakni Tuhan Yang Maha Kuasa. Sikap pasrah tersebut, dimaknai pula sebagai upaya untuk mancapai tataran Jumbuhing Kawula Gusti, yakni upaya menyatukan hamba kepada Tuhan yang menciptakannya.

Pada pemahaman lain, Bangun diartikan sebagai penggambaran orang yang terbangun dari tidurnya, untuk kemudian berikhtiar membangun kehidupannya. Sedangkan kata Tulak, bermakna kiat untuk menyingkirkan sukerta sebel sial dan hal-hal negatif yang melilit kehidupannya. Agar manusia dalam mengarungi samodra kehidupannya, senantiasa mendapatkan anugerah keselamatan dan kesehatan dari Gusti Murbeng Dumadi, dalam kiat menggapai kebahagiaan hidup.

Oleh koreografer Ludiro Pancaka, makna filosofi yang terkandung dalam pemahaman Bangun Tulak tersebut, dimanivestasikan ke dalam bentuk tari kolosal. Digarap dengan sentuhan pola gerak yang atraktif, dengan menyertakan garapan pola tata blok gerak yang dinamis, disinergikan dengan iringan musik gamelan Jawa yang ritmis.

Ludiro Pancaka adalah seniman tari alumni STSI Surakarta, yang kreatif dan piawi dalam menciptakan jenis-jenis tari garapan baru yang berakar pada budaya tari tradisional yang merupakan potensi kearifan lokal. Banyak jenis tarian yang diciptakan Ludiro, mampu meraih juara dalam setiap kali maju lomba ke festival tari tingkat nasional di Tanah Air. Termasuk ketika membidani garapan tari reog, Ludiro, mampu mengantarkan group Reog Singa Manggala Muda yang para warok (pemain reog)-nya murid-murid SMK Negeri 2 Wonogiri, berulangkali menjuarai lomba festival reog tingkat nasional memperebutkan piala bergilir Presiden RI. Event festival reog paling bergengsi di dunia ini, digelar secara tahunan bersamaan dengan tradisi Gerebek Sura di Kabupaten Ponorogo, Jatim. (SMNet.Com/bp)